Pentingnya Toleransi Antar Umat Beragama
Toleransi antar umat beragama hingga kini masih diselimuti persoalan. Klaim kebenaran suatu agama terhadap agama lainnya mendorong penganutnya untuk memaksakan kebenaran itu dan bersifat sangat fanatik terhadap terhadap kelompok agama lain . Lebih tragis lagi ketika penyebaran kebenaran itu disertai aksi kekerasan yang merugikan korban harta benda dan jiwa. Fenomena kekerasan antar pemeluk agama hampir terjadi di seluruh belahan dunia.
Soal Paradigma
Dalam paradigma lama, kompetisi misi agama dilakukan untuk menguasai pasar sendiri dan orang lain secara tidak sehat dan sering melanggar etika sosial bersama. Sementara dalam paradigma baru kompetisi harus berjalan secara sehat dan menaati hukum yang disepakati. Di tengah perbedaan agama dan spiritualitas, setiap pemeluk dituntut berkompetisi menjalankan kebaikan (fastabiqul khairat). Dalam paradigma baru orientasinya adalah pengembangan internal umat (intensity of the quality of both devotion to God and righteous living) dan konversi dalam komunitas serta tradisi sendiri (conversion within one’s own community and tradition). Dalam paradigma baru ini, selama seseorang merasakan dia adalah obyek kepentingan terselubung (vested interest) hanya demi alasan-alasan politis atau tujuan-tujuan konversi, maka tidak akan ada kontak alami manusiawi (human natural contact), yang merupakan prasyarat penting pertemuan antaragama.
Kalau dalam paradigma lama, misi seringkali mengundang pertentangan yang membawa kekerasan dan membangkitkan jihad perang antarpemeluk agama, maka dalam paradigma baru kegiatan misi agama harus membawa persaudaraan universal (human brotherhood, ukhuwah basyariah). Ajakan agama-agama harus lebih mengacu kepada keyakinan yang fitrah dan sejati, tidak semu dan penuh kemunafikan. Ini juga seharusnya membawa kepada wacana etika kemanusiaan global, untuk menjawab isu-isu global dan lintas agama, seperti ekonomi, lingkungan, moral, HAM, dan sebagainya.
Imbauan agama-agama sebaiknya mengacu pada platform bersama (common platform, kalimatun sawa), bukan pada perbedaan-perbedaan. Bahkan sejalan dengan paradigma baru ini, kini sedang dikembangkan theology of religions, yaitu teologi yang tidak hanya milik satu agama, tetapi semua agama. Begitu pula sedang dikembangkan teologi pluralis dan teologi transformatif, selain teologi eksklusif dan inklusif yang sudah dipegang mayoritas umat beragama.
Jika dalam paradigma lama, agama-agama lebih menekankan aspek formal, ritual, simbolik, dan karenanya dogmatis dari doktrin agama, maka dalam paradigma baru, prioritas program keagamaan adalah pemberdayaan keyakinan, sikap dan perilaku keagamaan yang lebih substantif. Ritualitas keagamaan dimaknai secara substantif sehingga sikap keagamaan lebih rasional dan membawa kemanfaatan yang lebih praktis dan konkret.
Peranan Tokoh
Dalam mengatasi krisi toleransi antar umat beragama ini peranan para tokoh pemuka agama maupun tokoh adat dan pemerintahan sangat diperlukan sebagai penengah maupun menjadi panutan untuk para anggotanya, oleh karena itu sangat diharapkan para pemuka agama untuk tidak bersifat fanatik atupun rasialis terhadap agama maupun suku lainnya.
Soal Paradigma
Dalam paradigma lama, kompetisi misi agama dilakukan untuk menguasai pasar sendiri dan orang lain secara tidak sehat dan sering melanggar etika sosial bersama. Sementara dalam paradigma baru kompetisi harus berjalan secara sehat dan menaati hukum yang disepakati. Di tengah perbedaan agama dan spiritualitas, setiap pemeluk dituntut berkompetisi menjalankan kebaikan (fastabiqul khairat). Dalam paradigma baru orientasinya adalah pengembangan internal umat (intensity of the quality of both devotion to God and righteous living) dan konversi dalam komunitas serta tradisi sendiri (conversion within one’s own community and tradition). Dalam paradigma baru ini, selama seseorang merasakan dia adalah obyek kepentingan terselubung (vested interest) hanya demi alasan-alasan politis atau tujuan-tujuan konversi, maka tidak akan ada kontak alami manusiawi (human natural contact), yang merupakan prasyarat penting pertemuan antaragama.
Kalau dalam paradigma lama, misi seringkali mengundang pertentangan yang membawa kekerasan dan membangkitkan jihad perang antarpemeluk agama, maka dalam paradigma baru kegiatan misi agama harus membawa persaudaraan universal (human brotherhood, ukhuwah basyariah). Ajakan agama-agama harus lebih mengacu kepada keyakinan yang fitrah dan sejati, tidak semu dan penuh kemunafikan. Ini juga seharusnya membawa kepada wacana etika kemanusiaan global, untuk menjawab isu-isu global dan lintas agama, seperti ekonomi, lingkungan, moral, HAM, dan sebagainya.
Imbauan agama-agama sebaiknya mengacu pada platform bersama (common platform, kalimatun sawa), bukan pada perbedaan-perbedaan. Bahkan sejalan dengan paradigma baru ini, kini sedang dikembangkan theology of religions, yaitu teologi yang tidak hanya milik satu agama, tetapi semua agama. Begitu pula sedang dikembangkan teologi pluralis dan teologi transformatif, selain teologi eksklusif dan inklusif yang sudah dipegang mayoritas umat beragama.
Jika dalam paradigma lama, agama-agama lebih menekankan aspek formal, ritual, simbolik, dan karenanya dogmatis dari doktrin agama, maka dalam paradigma baru, prioritas program keagamaan adalah pemberdayaan keyakinan, sikap dan perilaku keagamaan yang lebih substantif. Ritualitas keagamaan dimaknai secara substantif sehingga sikap keagamaan lebih rasional dan membawa kemanfaatan yang lebih praktis dan konkret.
Peranan Tokoh
Dalam mengatasi krisi toleransi antar umat beragama ini peranan para tokoh pemuka agama maupun tokoh adat dan pemerintahan sangat diperlukan sebagai penengah maupun menjadi panutan untuk para anggotanya, oleh karena itu sangat diharapkan para pemuka agama untuk tidak bersifat fanatik atupun rasialis terhadap agama maupun suku lainnya.
sumber : http://hanssuciawan.blogspot.com/2011/06/pentingnya-toleransi-antar-umat.html
0 comments:
Post a Comment