Tuesday, November 20, 2012

mengulang kejadian ISLAM sontoloyo


FPI sontoloyo copy

Sontoloyo, kuwi ateges wong kang nduwèni panggawéyan angon bèbèk. Mulanè ana tetembungan ‘Sontoloyo, angon bèbèk ilang loro’.Terjemahan : “Sontoloyo adalah orang yang memiliki pekerjaan sebagai penggembala bebek. Oleh sebab itu, ada ujaran, ‘Sontoloyo, menggembala bebek hilang dua’.
Sementara menurut kamus kata lainnya. Arti Sontoloyo : konyol, tidak beres, bodoh (bisa dipakai sebagai kata makian )
Bung Karno pernah memakai istilah ini ketika menggugat kelakuan umat yang membela aturan fikih, padahal ada yang berkonsekuensi menjadi dosa menurut agama, namun dihalalkan menurut fikih itu sendiri. Rasa geramnya terhadap praktek pat gulipat terhadap agama ditulisnya dalam artikel berjudul “ Islam Sontoloyo “ yang dimuat majalah ‘ Panji Islam ‘ pada tahun 1940. Tentu saja jika Bung Karno masih hidup, tentu saya akan meminta dia untuk mengecam para penganut Islam di jaman sekarang yang masih saja sontoloyo.
Islam sebagai agama mayoritas ternyata telah menggoda orang orangnya dengan bungkus syariat untuk bertindak seolah sebagai satu satunya pemilik sah negeri ini. Pemaksaan , ancaman dan kekerasan adalah cara yang paling mudah untuk memaksakan sebuah ide besar tentang negara Islam yang ideal.
Bukan omong kosong, jika eskalasi jumlah kekerasan terhadap kaum minoritas atau bahkan mayoritas yang berseberangan semakin meningkat. Cara cara preman untuk memberangus kemajemukan dan demokrasi itu sendiri. Akhirnya Islam menjadi alat pemukul. Benar benar Sontoloyo.

Kekerasan terhadap keberagaman di negeri ini sudah ada sejak jaman revolusi Kemerdekaan. Penculikan dan pembunuhan terhadap Romo Sanjaya, seorang pastur Katolik, oleh oknum dari organisasi Hisbullah di Muntilan Jawa Tengah, tahun 1948. Ini menunjukan betapa fanatisme sempit bisa begitu mengerikan. Tubuh biarawan itu bersama bersama Boumans, biarawan asal Belanda, ditemukan dalam keadaan telanjang tak bernyawa di sebuah sawah. Tubuhnya penuh bekas siksaan pukulan dan luka tembakan di kepalanya. Bahkan lubang hidung rekannya, pastur Belanda, ditutup dengan belahan kayu bambu.
Satu satunya alasan pembenaran pembunuhan ini adalah karena mereka orang Kristen. Tak perduli bahwa Sanjaya adalah pribumi Jawa.
Bung Hatta mengecam keras pembunuhan ini, yang telah menodai kerja keras para pendiri republik membentuk negara muda ini.
Penyerangan yang dilakukan oleh mereka ormas Islam terhadap sebuah proses diskusi – dan di ruang privat – semakin meneguhkan stigma bahwa tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Termasuk hukum di negeri ini. Tiba tiba saya merasakan kegetiran yang luar biasa dalamnya.
Saya tak pernah membayangkan apa yang dipikirkan oleh seorang Pesiden SBY, ketika diam saja, melihat warganya yang ditindas, dipukuli oleh preman preman berjubah. Kita tak bisa tergantung dengan pemimpin yang lemah.
Kota IslamKalau kita tarik mundur. Setelah reformasi, negara gagal mewujudkan sebagai satu satunya payung hukum. Perda perda syariat – walau mengambil dasar dari hukum agama – itu sudah bertabrakan dengan konstitusi kita. Semua pakar hukum tata negara pasti sepakat dengan itu. Betapa tidak, banyak peraturan peraturan lokal yang justru membalikan tata perilaku masyarakat yang sudah terbiasa. Misalnya larangan keluar malam bagi perempuan.
Ini adalah ujian maha penting bagi kelangsungan hidup republik ini. Bagaimana kita bisa bertahan dari hantaman mereka mereka yang menolak keberagaman, dan memaksakan sebuah negara model wahabi.
Dengan membiarkan sebuah proses diskusi yang demokratis dihancurkan. Itu akan menjadi pembenar untuk menghancurkan peri laku kehidupan lainnya yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka.
Tunggu saja. Dimulai dengan mengkafirkan mereka yang berseberangan. Lalu adat istiadat yang selama ini hidup berakar, akan digerus. Baju bodo Makasar, kemben Jawa atau Jaipongan Sunda hanya dilihat dari kacamata kaum fanatik.
Para sineas akan malas berkreasi karena bisa saja diserbu bioskopnya. Ruang budaya akan mengkeret ketakutan, karena algojo algojo bersorban memasuki ruang pentas mereka. Indonesia yang kaya dan berwarna warni, akan menjadi sama semunya. Berwarna kuning padang pasir. Kering dan gersang.
Lucunya. Mereka para ormas keblinger begitu semangat memburu diskusi buku, dan semua yang dianggap representasi barat. Namun tak pernah memburu rumah bordil, hiburan esek esek yang jelas jelas melanggar syariat. Sontoloyo !
Jadi benar apa yang ditulis Bung Karno, bahwa Islam akan membeku menjadi satu sistem formil belaka. Islam akan kehilangan jiwa penariknya. Tidak bergerak bahkan mandeg ( berhenti ).
Dan bukan saja mandeg! Kendaraan mandeg pun lama-lama menjadi amoh. Fiqh bukan lagi menjadi petunjuk dan pembatas hidup, fiqh kini kadang-kadang menjadi penghalalnya perbuatan-perbuatan kaum sontoloyooo…! Maka benarlah perkataannya Halide Edib Hanoum, bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini “bukan lagi agama pemimpin hidup, tetapi agama prokol-bambu”
Benar, ini sah, ini halal, tapi halalnya Islam Sontoloyo! Halalnya orang yang mau main kikebu dengan Tuhan, atau orang yang mau main “kucing-kucingan” dengan Tuhan. Dan kalau mau memakai perkataan yang lebih jitu, halalnya orang yang mau mengabui mata Tuhan!
Kalau sudah begini. Ketika hukum, polisi, aparat dan pemimpin kita menjadi mandul, ketakutan tak bergigi. Siapa salah, jika orangpun menyebutnya, benar benar negeri sontoloyo !
sumber : http://blog.imanbrotoseno.com/?p=1666

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes