Tuesday, November 20, 2012

apa maumu FPI


FPI1Suatu Malam 12 desember 2000, saya masih menikmati sea food platter di bagian belakang Restaurant Café “ Pasir Putih “ di Kemang. Ada dua bagian, satu di depan – dalam gedung, yang bisa menonton pertunjukan band, dan satu lagi di belakang – di luar, bersebelahan kolam renang. Musik bukan pilihan kami malam ini, rombongan para pekerja film yang kelaparan setelah seharian pre production di sebuah PH yang memang berlokasi seputaran Kemang.
Tiba tiba terdengar hiruk pikuk di dalam. Sekejab , segerombolan orang orang memakai jubah dan kopiah putih menyeruak dan berteriak teriak mengusir semua yang berada didalam. Asisten asisten saya yang wanita, hampir menangis ketakutan. Serentak, kami berhamburan pergi, dan tentu saja harus melewati bagian dalam menuju arah keluar, karena memang bagian belakang merupakan jalan buntu.
Apa yang saya lihat, menjadi jelas bahwa ini sebuah tindakan barbar. Anarkis. Sambil memporak porandakan meja makan, mereka merangsek ke area bar tender. Suasana benar benar chaos, diantara teriakan mereka juga menghancurkan mesin kasir, dan yang mengagumkan menjarah botol botol minuman serta merogoh tas tas yang ditinggalkan pemiliknya. Kelak dalam laporan ke polisi, sejumlah orang melaporkan kehilangan handphone, dompet dan beberapa miliknya yang berharga.
Seorang penyanyi wanita band yang memakai kostum ketat , tampak jongkok bersembunyi di pojokan. Tapi tak lama. Ia di suruh keluar oleh gerombolan berjubah itu sambil di caci maki atas nama Tuhan.
Di halaman parkir, mereka juga menghancurkan neon sign restaurant. Ternyata rombongan sebelumnya juga menghancurkan ‘ Salsa “ sebuah klub malam yang tak jauh dari ‘ Pasir Putih ‘. Mengherankan tak ada polisi atau aparat keamanan yang datang, padahal kurang lebih sekitar 300 meter ada Pos Polisi sektor Kemang. Sebuah mobil patroli baru datang hampir ketika massa gerombolan itu sudah menyelesaikan tugasnya, dan berteriak teriak di halaman parkir. Tak jelas apa yang dibicarakan antara pimpinan rombongan dan polisi itu. Ada kesan, polisi hanya berusaha memenangkan massa itu. Tidak mengusir apalagi menangkapnya.
Lihat pernyataan Brigadir Jenderal Saleh Saaf, Kepala Dinas Penerangan Markas Besar Polri , dua hari setelah kejadian ini. Mereka menyesalkan dan berjanji mengusut aksi ini. Secara runtun petinggi polisi itu mengakui bahwa organisasi ini dulunya merupakan partner polisi. “ Waktu itu mereka diarahkan bekerjasama dengan Polri “.
Kini anak macan itu telah berubah dewasa dan menyusahkan patronnya sendiri.

Bagi saya pengalaman sejak malam itu jelas menunjuk gerombolan yang mengatasnamakan ‘ Front Pembela Islam ‘ adalah garda terdepan polisi moral terhadap syariat.
FPI memang dekat sekali dengan petinggi militer dan kepolisian. Ini tak terlepas dari proses pembentukan Pam Swakarsa – Massa pendukung Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Setelah menguasai ABRi dan TNI – AD, Jend Wiranto tak berdaya menahan desakan untuk mengganti pemerintahan BJ Habibie. Untuk mengawal transformasi secara demokratis, termasuk perubahan jadwal pemilu yang tadinya akan dilakukan tahun 2002 menjadi 1999. Maka diperlukan Sidang Istimewa MPR .
Jend Wiranto memanggil May. Jend Kivlan Zen. Sebagaimana ditulis dalam buku “ Konflik dan Integrasi AD “ yang ditulisnya sendiri. Kivlan Zen diminta untuk mengumpulkan, mengerahkan massa pendukung SI – MPR. Ini karena Wiranto mengganggap Jendral ini bisa merebut MPR / DPR yang telah dikuasai massa pada bulan Mei 1998.
“ Ini perintah Presiden Habibie “ kata Wiranto.
Untuk pendanaan ia diminta berhubungan dengan Setiawan Djodi dan Jimly Asshidiqie SH yang saat itu menjadi staff Habibie. Sore itu mereka bertemu dan kucuran dana diberikan pengusaha Setiawan Djodi.
Jika ditarik sebelumnya, bisik bisik atau rumour menunjukan kedekatan kelompok Islam fundamentalis dengan elite militer seperti Let. Jend Prabowo Subianto. Tak ada yang bisa membuktikan bahwa Prabowo mempergunakan kelompok ini untuk strategi politiknya. Termasuk tudingan bahwa kelompok ini terlibat dalam kerusuhan Mei. Yang jelas Kivlan Zen adalah Panglima Divisi Kostrad pada masa Prabowo Subianto menjadi Panglima Kostrad.
Ada yang bilang setelah Prabowo jatuh. Kelompok ini didekati oleh Wiranto dan Jendral jendral penguasa baru.
FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 di Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, Jakarta oleh sejumlah Habib, Ulama, Mubaligh, Aktivis Muslim beberapa petinggi miiter termasuk Kapolda Jakarta Nugroho Djayoesman serta disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. FPI pun berdiri dengan tujuan untuk menegakkan hukum Islam di negara Indonesia, tepat 4 bulan setelah jatuhnya rezim orde baru yang sama sekali tak mentolerir kegiatan seperti itu.
Tentara di DPRKembali ke kisah. Kivlan Zen bisa menghadirkan massa berjumlah sekitar 30.000 orang ini membuat moral prajurit ABRI yang menjaga SI MPR kembali terangkat. Karena konflik langsung dengan mahasiswa dan masyarakat bagaimanapun meruntuhkan sebagian moral prajurit. Massa pendukung ini direncanakan yang akan berhadapan langsung dengan mahasiswa/rakyat. Jika ada perselisihan maka aparat datang seolah olah melerai.
Pada 4 November 1998. Diadakan rapat dengan pimpinan ormas Islam dan pondok pesantren. Termasuk FPI. Mereka akan mengerahkan tambahan massa sebesar 30.000 orang lagi untuk datang ke Jakarta. Massa sebagian besar datang dari Banten. Disamping beberapa wilayah Jabotabek, Jawa dan Lampung.
Kenapa Banten ? Sejarah mencatat memang gerakan Islam radikal tumbuh di Banten. Dalam catatan Majalah De Gids ( tahun 1933 ) , Prof Snouck Hurgronye menulis tentang fanatisme agama di Banten. “ disana banyak perkumpulan tarekat mistik, dipimpin haji berpakaian putih dan bersorban “. Memang ibadah di sana, dilakukan lebih ketat daripada daerah lain, dan sejak pemberontakan Cilegon tahun 1888, gerakan terhadap Belanda mempunyai sifat perang sabil.
Pemberontakan yang dipimpin Haji Wasid memang mengerikan. Tak hanya orang Belanda yang di Cilegon, tapi juga banyak penduduk pribumi terbunuh karena dianggap setia kepada Belanda dan tidak memilih cara hidup Islami.
Kelak seluruh gabungan massa pendukung ini melakukan apel di parkir timur Senayan dipimpin Panglima Divisi Kiblat ( Komite Islam Bersatu Penyelamat Konstitusi ), Daud Poliraja.
Pada pertemuan di rumah dinas Jend Wiranto tanggal 9 November 1998. Hadir selain tuan rumah juga Kapolda Mayjen ( Pol ) Nugroho Djayoesman, Pangdam Jaya Jaja Suparman, dan Kivlan Zen. Disana disepakati Pam Swakarsa akan berada di depan berhadapan dengan massa, jika terjepit maka pasukan Kodam Jaya akan mengamankan. Namun dalam praktek justru Pam Swakarsa di gebukin oleh pasukan Marinir, karena mereka tidak diberitahu.
Selama SI MPR kerap terjadi bentrokan antara Kiblat – kelak oleh Nugroho Djayoesman dirubah namanya menjadi Pam Swakarsa – dengan massa mahasiswa atau masyarakat penentang Sidang Istimewa. Banyak korban, dari pihak Pam Swakarsa yang terbunuh, karena dikeroyok massa.
Setelah SI MPR berakhir. Presiden baru yang terpilih KH Abdurahman Wahid meminta laskar ini membubarkan diri dan pulang ke rumahnya masing masing. Beberapa yang tinggal dan terutama dari daerah Banten dan sekitar Jabotabek terutama etnik Betawi banyak melebur ke dalam laskar laskar seperti FPI, atau laskar komunitas seperti FBR.
fpi2Bahkan, menurut Muhammad Habieb Rizieq, pendiri dan sekaligus Ketua FPI, berdirinya FPI merupakan upaya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran). Rizieq dalam wawancaranya mengatakan bahwa banyak kawan aktivis Islam yang menentang judi, prostitusi, dan minuman keras, tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Untuk itu ia akan mewujudkan mimp mimpi negara Islam, dengan konsekuensi apapun. Jelas ia menyimpan kekaguman dengan Taliban, dan secara tidak langsung mengambil ide ide Taliban tentang penyelanggaraan syariat Islam. Pada awal pembentukan FPI, ia berbicara tentang penggalangan potensi kekuatan umat untuk menggusur masyarakat sekuler.
Agak susah membantah kedekatan FPI dengan petinggi militer dan Polisi. Lihat saja ketika laskar bersenjata pentungan dan golok menyerbu kantor Komnas HAM saat itu, karena menolak pemeriksaan Komnas HAM terhadap Jend Wiranto tentang keterlibatannya dalam bumi hangus Timor Timur.
Mantan Kapolda Jakarta Nugroho Djayoesman dalam memoarnya “ Meniti Gelombang reformasi “ mengatakan kedekatannya dengan FPI dalam rangka tugas pembinaan. Ia bukan Jendral Taliban sebagaimana dituduhkan orang. Menurutnya “ Betapapun sepak terjang meresahkan masyarakat, organisasi seperti FPI semestinya dirangkul dan diajak bicara mengenai persoalan sosial-kemasyarakatan yang terjadi “
Bahwa ternyata urusan FPI tidak melulu masalah syariat. Ia bisa juga bergeser ke kasus politik. FPI tidak hanya mengurusi pemgrebekan café dan diskotik. Mereka juga menyerbu kelompok lain seperti Ahmadiyah, menyerbu kantor penerbitan majalah, menggasak pameran photo, kegiatan pluralisme, sampai menuntut orang orang yang dianggap tidak Islami.
Mereka tak pernah takut dengan siapapun. Kantor polres Jakarta barat pernah dikepung massa FPI tanpa bisa apa apa. Gubernur Sutiyoso tahun 2000 pernah dikurung di balai kota oleh laskar FPI yang menuntut penutupan tempat hiburan malam selama bulan puasa. Bekas Presiden Gus Dur dimaki ‘ Kiai Anjing ‘ saat diusir ketika hadir dalam dialog di Purwakarta tahun 2006.
Sekarang apakah kita harus diam dengan segala kesewenang wenangan. Tentu saja kita setuju bahwa nilai nilai Islam mesti menjadi inspirasi nafas kehidupan bermasyarakat. Namun harus dipahami bahwa nilai nilai demokrasi dan penghormatan terhadap pluralitas tidak bisa digerus begitu saja, apalagi dengan kekerasan. Ini merupakan mimpi sebagian besar warga di negeri ini yang cinta damai dan menolak aksi aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama.
FPI pada akhirnya menolak kemajemukan negeri ini. Gereja gereja dan sekolah Kristen yang dipaksa tutup, kekerasan terhadap kegiatan lintas etnis dan dialog agama serta menindas warga minoritas.
Tentu para founding fathers bangsa ini tak akan menciderai janji mereka. Saat pemuka Islam mengalah dalam pembukaan konstitusi, agar terhindar perpecahan. Sesuatu yang tentunya mereka sadari bahwa negeri ini berdiri di atas kemajemukan.
Kita tak bisa terus berdiam diri, membiarkan kesewenang wenangan ini menjadi tiran. 10 tahun terus FPI menjadi stempel menakutkan. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Tapi saya percaya, bahwa kita tak akan pernah berhenti menyuarakan penolakan ini. Tentu dengan cara yang bermartabat.
SUMBER : http://blog.imanbrotoseno.com/?cat=137

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes